TANIMERDEKA – Perubahan iklim ekstrem mulai mengganggu sistem cuaca regional, termasuk di Asia Tenggara. Dampaknya tidak hanya pada pola hujan, tetapi juga mengancam ketahanan pangan Indonesia karena meningkatnya risiko gagal panen.
Pakar agrometeorologi dan perubahan iklim dari Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Bayu Dwi Apri Nugroho, menyebut pencairan es di Samudra Atlantik bisa memengaruhi pertanian di Indonesia. Ia menanggapi hasil studi paleoklimatologi dalam jurnal Palaeogeography, Palaeoclimatology, Palaeoecology edisi terbaru.
Studi itu menunjukkan hubungan erat antara sirkulasi iklim global dan dinamika musim hujan tropis. Intensitas monsun Indo-Australia meningkat, membuat Australia utara lebih basah.
Hal ini mempercepat pencairan es di Atlantik. Akibatnya, musim hujan di belahan Bumi utara melemah. Sebagian kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, diperkirakan akan lebih kering.
“Fluktuasi iklim berskala global ini perlu diantisipasi secara serius, baik oleh pemerintah maupun masyarakat,” kata Bayu, dikutip dari laman UGM, pada Kamis, 24 Juli 2025.
Namun, Bayu menyebutkan lemahnya kualitas dan konsistensi data cuaca di Indonesia. Hal ini menyulitkan prediksi yang presisi.
“Sulitnya memprediksi cuaca secara presisi menjadi hambatan dalam pengambilan keputusan strategis, terutama di sektor-sektor vital seperti pertanian dan pengelolaan sumber daya air,” ujarnya.
Bayu mendorong pembangunan embung dan pemanfaatan air tanah (water harvesting) untuk mengatasi kekeringan. Ia juga menekankan pentingnya sistem peringatan dini berbasis dampak. Petani bisa memperkirakan waktu tanam lebih tepat.
Ia menyarankan penelitian bibit tahan kering dan revitalisasi irigasi. Semua ini, katanya, membutuhkan sinergi antara riset, kebijakan, dan inovasi.
Bayu juga menekankan perlunya kerja sama internasional antarilmuwan, pemerintah, dan masyarakat. Termasuk berbagi data cuaca, membangun model prediksi bersama, dan inovasi teknologi adaptasi dan mitigasi.
Ia mengingatkan pentingnya peran masyarakat. Edukasi iklim dan gaya hidup berkelanjutan bisa dimulai dari hal sederhana: berjalan kaki, hemat air, menanam pohon, dan menjaga tanah serta air.
“Perubahan besar dimulai dari kesadaran dan tindakan sederhana di tingkat komunitas,” ujarnya.
Bayu juga menekankan peran generasi muda sebagai agen perubahan menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.
Ancaman iklim nyata. Respons cepat dari semua elemen masyarakat sangat dibutuhkan. Masa depan pertanian dan pangan bergantung pada adaptasi kolektif dan kesadaran bersama.[]