Agar Diversifikasi Pangan Tak Sebatas Jargon

PANGAN adalah kebutuhan dasar bagi setiap orang. Menjadi hak bagi setiap warga negara untuk mendapatkannya. Bahkan dalam traktat Hak Asasi Manusia (HAM), pangan menjadi kebutuhan dasar yang harus dipenuhi dan dilindungi oleh negara. Dengan seperti itu, negara berkewajiban memastikan ketersediaan, akses, dan kelayakan pangan rakyatnya.

Tujuan akhir pemenuhan pangan adalah terbentuknya masyarakat yang sehat. Negara yang abai akan pemenuhan pangan rakyatnya adalah negara gagal. Oleh karena itu, pangan adalah hidup matinya suatu bangsa.

Beras masih menjadi pilihan utama sumber karbohidrat yaitu 98,5 persen orang Indonesia menjadikannya makanan pokok. Data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan rata-rata konsumsi beras selama periode 2010 – 2023 sebesar 1,86 kg/kapita/minggu atau setara dengan 97,09 kg/kapita/tahun. Angka tersebut terbilang tinggi, sebab standar konsumsi yang direkomendasikan FAO berkisar 60-65kg/kapita/tahun.

Dalam periode waktu 2010-2023 terjadi penurunan konsumsi beras dengan rata-rata penurunan sebesar 0,59% per tahun. Terkecuali tahun 2011, 2015 dan 2016 mengalami kenaikan signifikan masing-masing 2,11%, 1,15%, dan 2,26% dibandingkan tahun sebelumnya.

Konsumsi beras tertinggi terjadi pada tahun 2011 yang mencapai 102,87 kg/kapita/tahun. Setelah itu, konsumsi beras cenderung menurun hingga tahun 2023 sebesar 93,79 kg/kapita/tahun.

Ketergantungan pada beras dan disatu sisi produksi dalam negeri tidak mencukupi membuat negara setiap tahunnya mengeluarkan triliunan rupiah untuk mengimpor beras sejak Indonesia mencapai swasembada beras tahun 1984.

Ditengah produksi dan produktifitas beras yang stagnan, diversifikasi pangan baik produksi maupun diversifikasi konsumsi adalah jalan keluar yang tepat sehingga terbangun sistem pangan nasional yang kuat dan berkelanjutan. Sebagai pengingat, dalam berbagai episode peradaban termasuk Nusantara, kedaulatan pangan bisa tercapai dan terjaga karena diversifikasi pangan.

Sekilas Kebijakan Diversifikasi

Kebijakan diversifikasi pangan sudah ada sejak Orde Baru. Melalui Inpres No 14 Tahun 1974 tentang Perbaikan Menu Makanan Rakyat (PMMR) dan disempurnakan melalui Inpres No 20 Tahun 1979 dimaksudkan mendorong masyarakat mengkonsumsi makanan beragam dan meningkatkan mutu gizi makanan.

Dan kesadaran akan perlunya diversifikasi makin terasa sejak 1985 atau setahun setelah Indonesia mendapatkan penghargaan dari FAO karena keberhasilannya berswasembada beras. Keberhasilan ini tidak berlangsung lama, sejak 1985 Indonesia menjadi importir beras.

Pemerintah kemudian menggagas program Gerakan Beragam, Bergizi, Seimbang, dan Aman (B2SA). Tahun 1990-an dimulai kampanye “makan selain beras” — sagu, jagung, umbi-umbian melalui Program Diversifikasi Pangan dan Gizi (DPG) yang dikerjakan Departemen Pertanian. Program tersebut bertujuan mendorong ketahanan pangan rumah tangga dan mendorong kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi pangan yang beranekaragam dan bermutu gizi seimbang.

Diakhir-akhir kekuasaanya, Soeharto mengeluarkan UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan yang didalamnya mulai memasukkan prinsip diversifikasi pangan. Realitasnya berbagai kebijakn tersebut jauh dari kata sukses. Sebab budaya makan nasi sudah terlalu kuat dan tidak ada insentif besar untuk tanaman selain padi.

Berlanjut di era Reformasi, melalui Kepres No 136 Tahun 1999 dibentuk Badan Urusan Ketahanan Pangan (BUKP) dengan tugas utama melaksanakan pengkajian dan pengembangan ketahanan pangan, termasuk didalamnya mendorong pangan-pangan lokal untuk dikembangkan sebagai bagian integral dari upaya diversifikasi pangan.

Tahun 2000-2003 BUKP dan Sekretariat Pengendali (Setdal) Bimas dilebur menjadi Badan Bimas Ketahanan Pangan (BBKP) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 177 Tahun 2000 yang mempunyai tugas melaksanakan pengkajian, pengembangan dan koordinasi pemantapan ketahanan pangan.

Di era presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), 2004 BBKP berubah menjadi Badan Ketahanan Pangan (BKP) dan badan ini berakhir tahun 2021 karena Presiden Joko Widodo membentuk Badan Pangan Nasional (Bapanas) melalui Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2021 dimana tugas dan fungsi yang dilaksanakan oleh BKP diintegrasikan menjadi tugas dan fungsi Bapanas.

Di masa SBY juga dibuat Rencana Aksi Nasional Diversifikasi Pangan Lokal (RAN-DPL) 2005-2015. Diikuti dengan Perpres No 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal. Perpres ini memberi pengarahan penganekaragaman pangan dilakukan dengan berbagai upaya secara sistematis dan terintegrasi. Kemudian ditindaklanjuti dengan peraturan yang operasional melalui Permentan No 43 Tahun 2009 tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) Berbasis Sumberdaya Lokal.

Sebagai bentuk keberlanjutan program P2KP berbasis Sumber Daya Lokal, pada tahun 2014 program P2KP diimplementasikan melalui kegiatan: optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui konsep Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL); model Pengembangan Pangan Pokok Lokal (MP3L), serta sosialisasi dan Promosi P2KP. Melalui 3 kegiatan ini harapannya meningkatkan kualitas konsumsi pangan masyarakat untuk membentuk pola konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan aman (B2SA).

Pemerintahan SBY juga mencabut UU No 7/1996 melalui UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang makin memperkuat upaya diversifikasi pangan. Lagi-lagi semua kebijakan dan kegiatan diatas tidak berjalan maksimal, konsumsi beras tetap tinggi.

Dimasa Joko Widodo, melalui Perpres No 45 Tahun 2015 tentang Kementrian Pertanian sebagaiman diubah dengan Perpres No 117 Tahun 2022 dan dicabut dengan Perpres No 192 Tahun 2024 yang salah satu tugasnya adalah menyelenggarakan koordinasi dan perumusan kebijakan di bidang peningkatan diversifikasi dan pemantapan ketahanan pangan.

Bahkan dimasa pandemi Covid-19, wacana diversifikasi pangan semakin kuat, beberapa program dicetuskan, diantaranya Kementerian Pertanian (2020) menggalakan Gerakan Diversifikasi Pangan Lokal; pengembangan lumbung pangan lokal seperti sagu di Papua, sorgum di NTT, dan porang di Sulawesi yang mana hasilnya belum terlihat hingga kini.

Dapat dikatakan sejak presiden era Soeharto sampai Joko Widodo, semuanya menjanjikan program diversifikasi pangan namun hampir tidak ada yang bisa berjalan maksimal karena berbagai tantangan baik secara sosial-budaya, inovasi, kebijakan hingga kelembagaan.

Tantangan

Secara sosial dan budaya, konsep makan pada sebagian mayoritas masyarakat Indonesia adalah makan nasi. Bahkan, ada ungkapan “belum makan, kalau belum makan (mengkonsumsi) nasi beras” meskipun sudah makan roti, lontong atau panganan lain. Pola pikir ini tertanam kuat di tengah masyarakat.

Makan nasi sejak dulu kala sudah tertanam kuat dalam masyarakat Indonesia pra modern. Pola pikir ini terus berlanjut lintas generasi dan pada akhirnya melahirkan stigma sosial mengenai konsep makan.

Dengan kata lain, urusan makan telah menjadi status sosial di masyarakat. Dalam perspektif ini, beras dalam pandangan masyarakat memiliki status sosial tinggi, sebaliknya pangan non beras tidak lebih unggul daripada beras. Misalnya nasi jagung atau nasi singkong dianggap masyarakat miskin. Kemiskinan adalah status sosial yang cenderung dihindari oleh masyarakat.

Persoalan pengolahan juga menjadi kendala dalam mensukseskan program diversifikasi pangan. Membuat nasi beras lebih mudah, praktis, dan tidak memakan waktu lama, jika dibandingkan dengan membuat nasi singkong atau nasi jagung.

Terakhir pendapatan rumah tangga. Masyarakat yang secara ekonomi lebih mapan akan memiliki preferensi pilihan menu makanan lebih beragam dibandingkan masyarakat yang secara ekonomi sedang atau miskin.

Hasil kajian yang dilakukan Yani (2019) dalam “Analisis Tingkat Pendapatan pada Rumah Tangga terhadap Pilihan Pangan” menunjukkan bahwa pendapatan rumah tangga mempengaruhi diversifikasi konsumsi pangan. Bahkan, studi yang dilakukan oleh Kusumayanti dan Zurrahmi (2020) menunjukkan adanya hubungan pendapatan keluarga dengan status gizi balita.

Oleh karena itu, rumah tangga dengan penghasilan lebih tinggi akan memiliki aksesibilitas terhadap keragaman sumber pangan yang lebih berkualitas dengan mengurangi konsumsi beras. Singkatnya, persoalan pendapatan rumah tangga juga mempengaruhi pola pikir dan pola makan masyarakat.

Agenda Kedepan

Diperlukan akselerasi untuk memastikan program diversifikasi pangan berjalan aktual. Permulaannya ditempuh dengan peningkatan produksi-produktifitas pangan lokal – petani difasilitasi untuk menanam pangan non beras sesuai dengan potensi dan budaya daerah masing-masing. Bentuk fasilitasi: bantuan bibit, pupuk, teknologi pertanian, dan pendampingan penyuluh.

Kemudian memperkuat inovasi produk pangan dengan cara membangkan olahan pangan lokal menjadi produk kekinian misalnya menjadi mie sagu, snack umbi-umbian, roti sorgum dan sebagainya dengan melibatkan peran industri makanan dan kreator kuliner termasuk peran chef untuk membuat pangan lokal lebih menarik. Saat bersamaan memperbaiki rantai pasok dan distribusi yang kuat supaya produk lokal mudah diakses di pasar modern, e-commerce hingga restoran.

Selanjutnya memperkuat sosialisasi program diversifikasi pangan yang dilakukan secara massif diberbagai kanal strategis: platform media sosial lebih efektif dibandingkan saluran konvensional mengingat masyarakat Indonesia salah satu negara dengan pengguna media sosial terbesar di dunia.

Laporan Hootsuite (We are Social): Data Digital Indonesia 2024 jumlah pengguna media sosial aktif sebesar 167 juta orang atau 60,4% dari total penduduk Indonesia 276,4 juta. Sementara pengguna internet jumlahnya mencapai 212,9 juta (77% dari total penduduk). Kanal-kanal seperti gerakan komunitas juga perlu diadaptasi lebih masif.

Agenda program diversifikasi pangan perlu dimasukkan dalam kurikulum pendidikan sejak usia dini hingga perguruan tinggi. Hal ini untuk merubah pola pikir dan budaya konsumi yang sehat dan bergizi. Lembaga pendidikan memiliki nilai strategis dalam menanamkan nilai-nilai makanan yang beragam, tidak terbatas pada pengertian makan nasi. Singkatnya diversifikasi pangan melalui intervensi pendidikan dikerjakan secara sistemik dan struktural.

Tak kalah pentingnya adanya badan koordinasi nasional program diversifikasi pangan. Implementasi diversifikasi pangan perlu melibatkan berbagai pihak (kolaborasi). Badan ini kemudian mengorkestrasi kebijakan afirmatif pemerintah misalnya skema mewajibkan minimal 30% bahan pangan lokal harus tersedia di instansi pemerintah – BUMN, dan kantor-kantor pemerintahan sampai di level Desa serta berikan proteksi harga minimum untuk produk pangan lokal supaya petani untung. Karena tujuan akhir dari program diversifikasi pangan adalah bagaimana produk output yang dihasilkan dapat dinikmati dan diterima oleh masyarakat.

Penulis
Muhammad Irvan Mahmud Asia
Wakil Ketua Umum DPN Tani Merdeka Indonesia

Berita Terakhir

Berita Lainnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini